Senin, 31 Mei 2010

PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6).
Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatn¬ya.
Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah:
Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.

Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).
Pendidikan Kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Lebih lanjut Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa:
PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Menurut Branson 1999:4 civic education dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.
Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):
a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.
b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.
c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.
d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan.
e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD NRI 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.
f. Kegiatan dasar manusia.
g. Pengertian pendidikan IPS

Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan Kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebgai salah satu tujuan pendidikan IPS.
Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):
Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu Kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuanpendidikan IPS.

Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):
a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD NRI 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.
b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD NRI 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.
d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.
e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).
f. Dalam kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.
PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Al-Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:
Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.

Senin, 24 Mei 2010

Ketrampilan Berpikir Kritis

Keterampilan Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Wijaya (1999:72-73) mengemukakan ciri-ciri berpikir kritis sebagai berikut :
1) Mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan.
2) Pandai mendeteksi permasalahan.
3) Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan. 
4) Mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat.
5) Mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan atau kesenjangan –kesenjangan informasi.
6) Dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis.
7) Mampu mengembangkan kriteria atau standar penilaian data.
8) Suka mengumpulkan data untuk pembuktian faktual.
9) Dapat membedakan diantara kritik membangun dan merusak.
10) Mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat ganda yang berkaitan dengan data.
11) Mampu mengetes asumsi dengan cermat.
12) Mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam lingkungan.
13) Mampu mengidentifikasikan atribut-atribut manusia, tempat dan benda, seperti sifat, bentuk dan wujud, dan lain-lain.
14) Mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternalif pemecahan terhadap masalah, ide dan situasi.
15) Mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya.
16) Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan data yang diperoleh dari lapangan. 
17) Mampu menggambarkan konklusi dengan cermat dari data yang tersedia.
18) Mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia.
19) Dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi yang diterimanya.
20) Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi.
21) Mampu membuat interprestasi pengertian, definisi, reasoning dan isu yang kontroversial.
22) Sanggup memberikan pembuktian-pembuktian yang kondusif.
23) Mampu mengklasifikasi informasi dan ide.
24) Mampu menginterpretasikan dan menjabarkan informasi ke dalam pola atau bagan-bagan tertentu.
25) Mampu menginterpetasikan dan membuat flow charts.
26) Mampu menganalisis isi, unsur, kecenderungan, pola, hubungan, prinsip, promosi, dan bias.
27) Sanggup membuat reasoning berdasarkan persamaan-persamaan analog.
28) Mampu membandingkan dan mempertentangkan yang kontras.
29) Sanggup menditeksi bias atau penyimpangan-penyimpangan.
30) Terampil mengunakan sumber-sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
31) Mampu menginterpretasi gambar dan kartun.
32) Mampu menentukan hubungan sebab akibat.
33) Mampu membuat konklusi yang valid.

Selain itu, berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau suatu proses menganalisis, menjelaskan, mengembangkan atau menyeleksi ide, mencakup mengkategorisasikan, membandingkan dan melawankan (contrasting), menguji argumentasi dan asumsi, menyelesaikan dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan prioritas dan membuat pilihan. Materi pelajaran keterampilan berpikir kritis menurut Wijaya (1999:81) mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Membedakan fakta yang dapat diuji dengan tuntutan nilai yang berlaku.
2) Membedakan informasi relevan dan tidak relevan, tuntutan atau alasan-alasannya.
3) Menentukan ketelitian fakta dari sebuah pernyataan.
4) Menentukan derajat kredibilitas sumber.
5) Mengidentifikasikan argumen yang bersifat ganda.
6) Mengidentifikasikan asumsi yang tidak dinyatakan.
7) Menditeksi penyimpangan-penyimpangan/bias.
8) Mengidentifikasi buah pikiran yang keliru agar menjadi logis.
9) Memperkenalkan ketertautan logis dalam reasoning.
10) Menentukan besarnya kekuatan argumentasi dan tuntutannya. 

Lebih lanjut Ennis (1985) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah cara berpikir yang masuk akal dan mendalam yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Menurut Moore dan Parker (Glatthorn, 1985:49) berpikir kritis adalah tindakan yang hati-hati yang bijaksana dalam memutuskan apakah keputusan/penilaian suatu fakta akan diterima, ditolak atau dibatalkan.
Selain itu berpikir kritis merupakan suatu manifestasi dari kegiatan berpikir yang terarah, dimana dalam prosesnya seseorang menentukan sesuatu sebelumnya kemudian pikiran tersebut diarahkan kepada suatu kegiatan berupa pemecahan masalah. Mc. Curdy (Sarwono, 1975) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah membuat keputusan atau pemilihan terhadap suatu keadaan.
Oleh karena itu, berpikir kritis tidak dimiliki seseorang tanpa suatu proses belajar, dimana dengan belajar dia dapat merubah diri yang tadinya belum mampu menjadi mampu melalui jangka waktu tertentu. Terdapat beberapa hambatan atau situasi yang membuat seseorang sulit untuk berpikir kritis, diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Keraguan apa yang ia pikirkan tidak dapat terlaksana.
2) Pikiran yang kita miliki tidak selaras dengan keinginan lingkungan.
3) Perbedaan kepentingan, ketika ada pertanyaan-pertanyaan dari orang lain.
4) Ketika terjadi sesuatu yang mengancam perasaan kita yang akhirnya kita merasa tidak mampu berpikir kritis.  

Mengembangkan kemampuan berpikir kritis tidak bisa hanya diceramahkan atau dijelaskan saja, akan tetapi harus banyak melatih dan mempraktekan keterampilan berpikir anak tersebut. Anita Harnadek yang dikutip oleh Zaleha Izhab Hasoubah (2003:90) menyatakan “critical thingking is a skill which must be practiced in order to develop effectively”. Jadi, untuk mengembangkan kemampuan berpikir termasuk berpikir kritis pada peserta didik, salah satu cara yang efektif adalah melalui latihan-latihan atau dipraktekkan. 
Dengan demikian, guru PKn dalam proses pembelajarannya harus banyak memberikan latihan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik, misalnya latihan berdebat, latihan mengemukakan gagasan dan pendapat, latihan untuk mengkaji suatu problema sosial di masyarakat, latihan untuk memecahkan masalah, dan lain-lain.

Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

 Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan 
Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak Kewarganegaraan). Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara” (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan Kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.
Ketiga, Civic Disposition (Watak-Watak Kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak Kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.
Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) antara lain menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran. Pendidikan Kewarganegaraan termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Tujuan dan Fungsi Pkn

Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut :
a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

 Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah : 
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. 

 Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis..., Pancasilasejati” (Somantri, 2001:279). Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945.
 Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:
a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.
b. Keterampilan intelektual:
1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;
2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.
c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.
d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

 Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan :
a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.
b. Melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.
c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.
d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

 Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa, 
Tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
 
 Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran tidak hanya menampilkan sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

3. Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.
 Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagi berikut (Sumantri, 1957:31):
a. Civics (1790)
b. Community Civics (1970, A.W. Dunn)
c. Civic Education (1901, Harold Wilson)
d. Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney)
e. Civic-Citizenship Education (1971, NCSS)

 Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka “meng-Amerikakan” bangsa Amerika atau terkenal dengan “theory of Americanization”. Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics”, pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the science of citizenship – the relation of man, the individual, to man in organized collections – the individual in his relation to the state, Creshore, Education” (Somantri, 1975:31).
 Penjelasan mengenai Civics menpunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai “government”, hak dan kewajiban sebagi warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “government” saja, kemudian dikenal istilah Community Civics, Economic Civics, dan Vocational Civics.
 Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 dipelopori oleh W.A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang ringkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “community civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.
 Selain gerakan community civics, timbul pula gerakan civic education. Ruang lingkup Civics Education (Somantri, 1975:33), antara lain:
a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.
b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis.
c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

 NCSS (Somantri, 1975:33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut: 
Citizenship Education is a proses comprising all the positive influences which are intended to shape a citizens view to his role in society. It comes partly from formal schooling, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education, our youth are helped to gain an understanding of our national ideas, the common good, and the process of self goverment.

Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan cakupan PKn lebih luas, karena bahannya selain mancakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar diluar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya, PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional /tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelsaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Unsur-unsur Civic Education yang dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: Mengetahui, memahami dan mengapresiasikan cita-cita nasional; dan dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas.
 Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) mengemukakan bahwa, perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun :
1. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.
2. Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.
3. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
4. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.
5. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.
6. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.
7. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.